
S-line Challenge berawal dari drama korea on going S-Line. Siapa nih yang udah nonton drama Korea tersebut?
Drama ini bukan sekadar seru atau menegangkan, tapi juga bikin kita mikir. S LINE hadir dengan konsep unik sekaligus kontroversial: garis merah yang muncul di atas kepala seseorang, setiap kali mereka terhubung lewat hubungan seksual.
Drama ini tayang eksklusif di platform Wavve sejak 11 Juli 2025, dan langsung ramai dibicarakan. Diangkat dari webtoon karya Kkomabi, S LINE membawa kita ke dunia di mana privasi seksual bukan lagi rahasia, tapi tampak kasat mata. Shin Hyun Heup, seorang siswi SMA, punya kemampuan melihat garis merah itu tanpa alat bantu. Tapi justru karena itu hidupnya penuh tekanan. Beberapa kali ia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri lantaran menganggap bisa melihat garis merah adalah sebuah kutukan.
Rahasia-rahasia yang tersembunyi mulai terungkap, berujung pada serangkaian pembunuhan misterius. Semuanya tampak berpusat pada garis merah yang hanya bisa dilihat sebagian orang. Dalam prosesnya, detektif Han Ji Wook menemukan sosok guru bernama Gyu Jin yang ganjil karena tak memiliki S-Line sama sekali.
Nah, premis ini ternyata tidak cuma hidup di layar kaca. S-Line mendadak jadi “inspirasi” buat tren aneh di media sosial: Pamer S-Line. Banyak orang mulai edit fotonya sendiri dengan efek garis merah di kepala. Ada yang ngerti konteks dramanya, ada juga yang cuma ikut-ikutan karena FYP. Tapi perlu nggak sih urusan seksual dijadikan bahan tren?
ADVERTISEMENTS
5 Alasan S-Line Challenge Bisa Jadi Bahaya yang Tidak Disadari
ADVERTISEMENTS
1. Banyak yang Ikut Tanpa Paham Konteks Seksual di Baliknya
S-Line Challenge bukan sekadar efek visual. Dalam dramanya, garis merah ini adalah simbol hubungan seksual yang pernah terjadi antara dua orang. Ketika orang mulai mengedit foto mereka dengan garis merah itu tanpa tahu maknanya, secara tidak langsung mereka sedang membuka ruang candaan terhadap privasi seksual.
Tanpa disadari, banyak yang mempermainkan sesuatu yang sangat personal, hanya karena tren. Ini bisa menciptakan jarak antara makna sebenarnya dan persepsi publik yang semakin kabur.
ADVERTISEMENTS
2. Menormalisasi Seks sebagai Bahan Hiburan Visual
Dengan cepatnya challenge ini menyebar, seks berubah menjadi bahan hiburan. Seks tidak lagi dilihat sebagai bentuk relasi yang penuh makna, tapi sekadar simbol visual untuk dinikmati dan dibagikan.
Padahal dalam konteks drama, ketika S-Line terlihat publik, justru yang muncul adalah krisis. Relasi hancur, rahasia terbongkar, dan tekanan sosial meningkat. Hal ini menjadi peringatan bahwa ketika seksualitas kehilangan konteks, yang terjadi adalah kerentanan bukan kebebasan.
ADVERTISEMENTS
3. Mengganggu Persepsi Diri dan Membuka Ruang Labeling
S-Line Challenge atau ajang Pamer S-line secara tidak langsung mengajak orang mengomentari “banyak atau tidaknya” garis pada seseorang. Sekilas seperti lelucon, tapi ini bisa memicu labeling atau judgment yang berdampak serius, apalagi di usia remaja.
Label seperti “udah banyak pasangan” atau “kosong banget nih garisnya” menciptakan persepsi yang mereduksi nilai seseorang hanya dari aktivitas seksual. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mempengaruhi citra diri, rasa percaya diri, bahkan mendorong tindakan tidak sehat demi “membuktikan sesuatu”.
ADVERTISEMENTS
4. Seks Bukan Sekadar Fisik, Tapi Juga Pertukaran Energi
Dalam pendekatan spiritual dan holistic, hubungan seksual dianggap sebagai pertukaran energi. Konsep ini dikenal sebagai Secret Energy Exchange. Ketika seseorang terhubung secara seksual, bukan hanya tubuh yang saling terlibat, tapi juga emosi dan energi.
Kalau dilakukan tanpa kesadaran, hanya karena kesenangan atau sekedar ikut-ikutan, seks bisa meninggalkan residu emosional yang sulit diproses. Jadi ketika seks dijadikan bagian dari tren digital, kita sebenarnya sedang mengabaikan beban emosional dan spiritual yang ikut terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENTS
5. Anak Muda Jadi Akrab dengan Seks, Tapi Lewat Cara yang Salah, Bukan Lewat Edukasi yang Tepat
Tren viral seperti ini memperlihatkan betapa mudahnya anak muda mengenal soal seks tapi bukan lewat edukasi, melainkan lewat hiburan. Yang mereka dapat bukan pemahaman tentang consent, kesehatan seksual, atau hubungan sehat, tapi sekadar simbol dan sensasi.
Tanpa penyaring yang kuat, tren seperti “Pamer S-Line” bisa menggiring generasi muda untuk memandang seks sebagai sesuatu yang ringan, pameran, atau bahkan bahan lelucon. Ini bisa menutup pintu untuk percakapan yang sehat dan penuh empati tentang hubungan.
Lalu, Apa Dampaknya Kalau Seks Terus Dianggap Enteng?
Poin sebelumnya sudah membahas tentang pertukaran energi, tapi mari kita renungkan lebih jauh. Apa yang terjadi ketika seks, sesuatu yang personal dan kompleks, terus diubah jadi tren digital yang viral?
Saat hal-hal intim dibagikan atau dijadikan bahan candaan, pelan-pelan sensitivitas kita terhadap privasi dan makna kesakralan seksualitas jadi menumpul. Batas antara ruang pribadi dan ruang publik memudar. Yang tadinya dijaga, sekarang jadi konten. Yang seharusnya dibicarakan serius, malah ditertawakan.
Efeknya bukan cuma pada orang lain, tapi juga dalam diri sendiri. Kita bisa kehilangan rasa hormat terhadap tubuh, pengalaman, serta pilihan. Perlahan-lahan, seks berubah menjadi angka, garis, atau filter. Sex bukan lagi dianggap sebagai keputusan sadar yang layak dihargai.
Tips: Supaya Nggak Gampang Ikut Tren yang Gagal Konteks
-
Tahan 5 detik sebelum ikut tren. Tanyakan dulu: ini lucu, atau sebenarnya sensitif?
-
Cari tahu dulu sumbernya.Drama S LINE itu bukan hiburan ringan, tapi kritik sosial.
-
Diskusi bareng sahabat atau orang terdekat. Bisa jadi mereka punya pandangan yang bikin kamu mikir.
-
Berani bilang “enggak perlu ikut”Kamu tetap keren walau nggak FOMO.
-
Ingat 1 hal ini: privasi itu sangat berharga. Apalagi soal seks, jangan dijadikan filter.
Kita nggak perlu menghakimi siapa pun yang ikut S-Line Challenge. Tapi kita bisa memilih untuk jadi lebih sadar dan lebih peduli. Di tengah dunia digital yang serba cepat, kadang yang paling berani bukan yang ikut semua tren, tapi yang tahu kapan harus berhenti dan bertanya: “Ini penting, enggak? kalau hanya untuk mengikuti fomo dan mengejar viral, buat apa?”