
Senja di sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Seorang perempuan muda bernama Kirana menggenggam tangan kekasihnya sambil berbisik, “Aku ingin cincin tunangan yang berbeda. Bukan sekadar cantik, tapi juga bermakna. Aku ingin sesuatu yang lebih etis, lebih hijau, yang tidak merusak alam.” Pacarnya tertegun. Bukankah berlian sudah pasti indah dan berharga?
Pemandangan seperti ini semakin sering kita temui di generasi milenial Indonesia. Mereka tidak lagi menerima begitu saja tradisi yang diwariskan tanpa mempertanyakan dampaknya. Pertanyaan pun muncul: apakah berlian harus selalu ditambang dari perut bumi? Apakah tidak ada cara yang lebih bertanggung jawab untuk memiliki simbol cinta yang berkilau?
Di sinilah berlian buatan laboratorium memasuki panggung. Sebuah inovasi teknologi yang mulai mengubah cara kita memandang kemewahan, nilai, dan makna di balik perhiasan yang kita kenakan.
ADVERTISEMENTS
Apa Itu Berlian Lab-Grown?
Berlian buatan laboratorium, atau yang sering disebut lab-grown diamond, bukanlah imitasi atau berlian palsu. Ini adalah berlian asli yang dibuat melalui proses teknologi canggih yang meniru kondisi pembentukan berlian di dalam bumi. Dua metode utama digunakan: High Pressure High Temperature (HPHT) dan Chemical Vapor Deposition (CVD).
Proses HPHT menciptakan tekanan dan suhu ekstrem, sama seperti yang terjadi ratusan kilometer di bawah permukaan bumi. Sementara CVD membangun berlian atom demi atom dari gas yang kaya karbon. Kedua metode ini menghasilkan berlian yang secara visual dan kimia 100% identik dengan berlian alami.
Yang membuatnya menarik? Berlian lab-grown dapat diproduksi dalam hitungan minggu, bukan jutaan tahun seperti berlian alami. Dampak lingkungannya jauh lebih kecil—tidak ada penggalian besar-besaran, tidak ada kerusakan ekosistem, dan konsumsi airnya 85% lebih sedikit dibanding penambangan berlian konvensional.
Dari segi harga, berlian lab-grown umumnya 30-50% lebih terjangkau dibanding berlian tambang dengan kualitas yang sama. Bagi generasi yang sudah terbebani cicilan rumah, mobil, dan biaya hidup di kota besar, ini tentu menjadi pertimbangan serius.
Transparansi adalah nilai tambah lainnya. Setiap berlian lab-grown memiliki jejak produksi yang jelas, tidak seperti berlian tambang yang kadang sulit dilacak asal-usulnya—termasuk kemungkinan terlibat dalam konflik atau eksploitasi pekerja.
ADVERTISEMENTS
Persepsi Nilai: Berlian Tambang vs Lab-Grown
Membicarakan nilai berlian tidak bisa lepas dari aspek emosional dan budaya. Selama puluhan tahun, industri berlian menanamkan persepsi bahwa hanya berlian alami yang “sejati” dan bermakna. Slogan “A Diamond is Forever” dari De Beers telah mengakar dalam dalam benak kita—berlian menjadi simbol kemurnian cinta yang abadi.
Namun, paradigma ini mulai bergeser. Generasi milenial dan Gen Z tidak lagi terkesan dengan narasi “semakin mahal, semakin bermakna.” Mereka lebih tertarik pada cerita di balik produk: bagaimana cara pembuatannya, siapa yang terlibat dalam prosesnya, dan dampak apa yang ditimbulkan.
Tapi, apakah berlian buatan laboratorium memiliki nilai? Pertanyaan ini menjadi perdebatan hangat di kalangan penjual perhiasan, kolektor, dan konsumen. Dari segi investasi, berlian tambang memang cenderung mempertahankan harga jual kembali lebih baik. Namun, kenyataannya, kebanyakan orang membeli berlian untuk disimpan selamanya, bukan untuk dijual kembali.
Yang lebih penting adalah definisi “nilai” itu sendiri. Jika nilai diukur dari keindahan, ketahanan, dan makna emosional—berlian lab-grown tidak kalah dari berlian alami. Bahkan, bagi sebagian orang, mengetahui bahwa cincin mereka tidak berkontribusi pada kerusakan lingkungan justru menambah nilai sentimental yang tak ternilai.
Seorang content creator Jakarta, Dinda Amalia (nama samaran), bercerita, “Awalnya saya ragu dengan berlian lab-grown. Tapi setelah research mendalam, saya sadar kalau berlian itu tetap berlian, regardless dari mana asalnya. Yang penting, makna di baliknya. Dan untuk saya, memilih yang ramah lingkungan itu justru menambah kebanggaan.”
Transformasi persepsi ini tidak terjadi dalam semalam. Butuh edukasi dan keterbukaan untuk memahami bahwa kemewahan bisa sejalan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
ADVERTISEMENTS
Sudut Pandang Milenial & Gen Z
Generasi digital Indonesia memiliki akses informasi yang luas dan sikap kritis terhadap klaim marketing. Mereka tidak segan mempertanyakan tradisi yang dianggap tidak relevan dengan nilai-nilai mereka.
“Generasi orang tua saya mungkin bangga punya berlian dari Afrika yang ditambang ratusan tahun lalu. Tapi saya justru bangga punya berlian yang dibuat dengan teknologi canggih tanpa merugikan siapa pun,” ujar Rara, seorang marketing manager berusia 28 tahun di Surabaya.
Bagi mereka, autentisitas bukan soal asal-usul, tapi soal keselarasan dengan prinsip hidup. Konsep “ethical shopping” semakin menguat—mulai dari memilih fashion brand yang fair trade, makanan organik, hingga investasi yang berkelanjutan.
Gen Z khususnya, sangat peduli dengan isu climate change dan social justice. Mereka melihat setiap keputusan pembelian sebagai bentuk voting untuk masa depan yang mereka inginkan. “Kalau ada pilihan yang lebih ramah lingkungan dengan kualitas sama, kenapa harus pilih yang merusak?” tanya Kevin, mahasiswa UI yang sedang merencanakan melamar pacarnya.
Faktor affordability juga tidak bisa diabaikan. Dengan gaji entry level yang belum seberapa dan cost of living yang terus naik, berlian lab-grown memberikan akses ke luxury items yang sebelumnya sulit dijangkau.
Yang menarik, mereka juga lebih terbuka untuk sharing story di balik pilihan mereka. “Berlian lab-grown itu topik yang menarik untuk dibahas di social media. Orang-orang jadi curious dan respect sama keputusan conscious buying kita,” kata Mila, seorang influencer lifestyle.
ADVERTISEMENTS
Masa Depan Berlian Adalah Buatan?
Perubahan tidak pernah mudah, apalagi dalam industri yang sudah mapan selama puluhan tahun. Namun, tren berlian lab-grown menunjukkan bahwa konsumen Indonesia, khususnya generasi muda, sudah siap untuk pilihan yang lebih bertanggung jawab.
Industri perhiasan tradisional mungkin akan terus mempromosikan eksklusivitas berlian alami. Tapi pasar tidak bohong—demand untuk berlian lab-grown terus meningkat, tidak hanya di Indonesia tapi juga global.
Yang perlu diingat, perdebatan ini bukan soal mana yang “benar” atau “salah.” Ini tentang memberikan pilihan yang lebih luas kepada konsumen untuk menentukan nilai mana yang mereka anggap penting.
Bagi generasi yang tumbuh di era digital, transparansi, dan sustainability, berlian lab-grown menawarkan sesuatu yang berlian tambang tidak bisa: peace of mind. Mereka bisa menikmati keindahan berlian tanpa diliputi keraguan tentang dampak negatifnya.
Pada akhirnya, jika nilai berlian adalah cinta dan makna yang dikandungnya, bukan sekadar harga atau asal-usulnya—maka siapa bilang yang tumbuh di laboratorium tak berharga? Mungkin sudah waktunya kita mendefinisikan ulang apa itu “berlian sejati” di era modern ini.
Masa depan berlian mungkin memang ada di tangan teknologi. Dan generasi milenial Indonesia, dengan kesadaran sosial dan lingkungan yang tinggi, mungkin menjadi pioneers dalam mengubah industri ini menjadi lebih baik.